Nasional

Dilema Perkawinan Anak dan Pekerjaan Perempuan yang Terpinggirkan di Ruang Publik

Jum, 5 Juli 2024 | 21:00 WIB

Dilema Perkawinan Anak dan Pekerjaan Perempuan yang Terpinggirkan di Ruang Publik

Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Jakarta, NU Online 

Perempuan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan pengakuan di dunia kerja dan terjebak dalam praktik perkawinan anak. Kondisi ini menunjukkan bagaimana peran perempuan masih terpinggirkan di ruang publik.


Hal ini diungkapkan peneliti studi gender dalam diskusi bertajuk Benarkah Perempuan Dipinggirkan di Ruang Publik? yang digelar oleh Islami.co bekerjasama dengan INFID di Outlier, Ciputat Tangerang Selatan, Sabtu (5/7/2024).


Aktivis perempuan sekaligus peneliti studi gender, Dewi Candraningrum menyebut saat ini perempuan masih menjadi warga negara kelas dua dalam struktur negara dan dominasi ekonomi perawatan. Parahnya, ekonomi perawatan selama ini tidak dibayar oleh negara.


“Jadi pekerjaan yang tidak dibayar oleh sistem ekonomi kapitalisme ada dua. Pertama pekerjaan perempuan yakni pekerjaan domestik dan pekerjaan merawat. Kedua, pekerjaan dari alam,” kata Dewi.


Dewi mengungkapkan jasa lingkungan yang tidak dibayar ini mengingatkan ia pada  ilmuwan Amerika yakni Elinor Ostrom yang menyarankan Bank Dunia dan sektor finansial untuk mengakui pekerjaan domestik dan jasa lingkungan. 


Pengakuan ini diharapkan dapat mengatasi ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dan membantu mencegah krisis iklim lebih lanjut. “Karena itu tidak dibayarkan, kita sekarang ini mengalami krisis iklim, bencana iklim di era pasca perubahan iklim,” ucapnya. 


Peminggiran peran perempuan juga terjadi dalam pekerjaan sebagai nelayan dan petani. Dewi mencontohkan nasib perempuan nelayan di Jepara yang menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pengakuan sebagai nelayan dalam KTP mereka. 


“Perempuan yang mengklaim status dalam  KTP sebagai nelayan perempuan enggak bisa. Mereka memerlukan waktu 4 hingga 6 tahun untuk mendapatkan pengakuan sebagai nelayan,” ujar Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu. 


Menurut Dewi, status sebagai nelayan perempuan lebih strategis daripada sekadar istri nelayan. Pasalnya ketika seorang suami nelayan meninggal, sang istri tidak bisa mengklaim apapun, tidak dapat berhutang, tidak bisa mendapatkan kredit mikro, tidak berhak atas bantuan saat bencana, dan tidak dapat melaut serta menerima subsidi untuk melaut.


Permasalahan serupa juga terjadi pada perempuan yang bekerja sebagai petani. Status sebagai petani perempuan juga sulit didapatkan dan berdampak pada akses terhadap insentif kesehatan, kredit, dan bantuan ketika bencana. 


“Maka jika ada pertanyaan, Benarkah perempuan dipinggirkan di ruang publik?  Iya, ora perlu ditakoke (tidak perlu dipertanyakan),” jelas Dewi.


Tingginya perkawinan usia anak 

Peneliti sekaligus Program Officer Preventing Violence Extremism INFID, Sanita Rini menjelaskan salah satu permasalahan pada perempuan di ruang publik adalah masih tingginya perkawinan usia anak. Padahal anak perempuan yang dinikahkan secara paksa menyebabkan permasalahan yang kompleks bagi keberlanjutan hidup perempuan.


“Saya menjadi salah satu yang hampir dinikahkan di usia anak ketika usia 13 tahun dan 15 tahun dan itu bukan hal yang mudah,” kata Sanita.


Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sebelumnya menetapkan usia minimal perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun, meskipun ada pasal yang menyatakan usia yang dianggap siap menikah adalah 21 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun, informasi ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum, yang menyebabkan tingginya angka perkawinan usia anak.


“Saat itu di desa kami terbatas informasi dan akses pendidikan. Teman kami meninggal pada usia 16 tahun dan tengah hamil usia 7 bulan, sementara teman yang satu usia 15 tahun bercerai dengan suaminya,” kata Sanita.


Ia menyoroti bahwa diskriminasi terhadap perempuan sudah dimulai sejak dalam kandungan, dengan banyaknya keterbatasan akses dalam berbagai aspek kehidupan. Hingga saat ini, anak perempuan masih berjuang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak, bahkan dalam lingkup keluarga mereka sering kali tidak bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri.


“Dari situ kita merefleksi bahwa PR kita masih banyak artinya bukan hanya perempuan dewasa  ketika masih bayi pun masih banyak hal-hal yang dibatasi,” tuturnya.


Penelitian INFID juga menemukan bahwa ibu tunggal sering kali mengalami diskriminasi, termasuk dalam akses dokumen kenegaraan. Banyak laporan menyebutkan bahwa ibu tunggal kesulitan mengakses identitas untuk dirinya dan anaknya.


“Itu salah satu permasalahan yang mulai dari usia anak sangat kompleks, berbagai diskriminasi masih sering dialami sejak masih usia anak sampai pada beberapa aspek kehidupan lain baik itu aspek pendidikan hingga politik,” tandasnya.